Kamis, 28 Juni 2012

One day trip to Kelor, Cipir and On Rust Island

“Revisi sejarah”
Harus dilakukan sejak dini!

Pulau Kelor, Cipir dan On Rust menjadi tujuan wisata sejarah saya dan teman-teman kali ini. Disana banyak peninggalan sejarah bekas jaman belanda. Tempat yang bersejarah memang, tapi perlu banyak di revisi untuk diceritakan kepada anak cucu kita kelak. Banyak papan pemberitahuan tertulis bahwa disana adalah salah satu tempat benteng tentara Belanda pada saat menjajah Negara Indonesia.

Sangat memalukan!

Dan tugas berat ada di pundak kita semua saat ini. Yah.. kita harus merubah atau merevisi sejarah itu. Setidaknya merevisi kata “dijajah oleh Belanda” dengan kata “berperang dengan Belanda”.

Kenapa demikian?
Karena harus demikian!

Demi citra Bangsa ini dan demi meningkatkan rasa percaya diri anak cucu serta generasi penerus kita kelak. Saya pribadi yakin apabila mereka mendengar bahwa Negara kita pernah dijajah, mereka pasti bertanya-tanya dalam hati kecilnya “apa kerjanya para Pahlawan bangsa pada saat dulu Belanda datang ke Negara ini?.  Itu mungkin akan membuat mereka merasa malu dan tidak PD.

Perubahan kecil yang kita lakukan saat ini akan sangat berpengaruh besar pada bangsa kita suatu saat nanti. Coba kalian perhatikan pada saat tentara Amerika berperang di Vietnam, mereka kalah mutlak oleh tentara Vietnam. Banyak tentara Amerika yang gugur dalam perperangan itu. Tapi mereka tetap pulang dengan kepala tegak dan bercerita kepada sanak keluarga dan negaranya di sana bahwa mereka “Menang”. Sungguh benar-benar cerita yang membuat bangga didengar disana.

So. . . apa salahnya kita meniru cara mereka. Kata “berperang” lebih baik dari pada “dijajah”, dan siapa yang mau untuk dijajah? Mari kita sebarkan cerita jaya para pahlawan-pahlawan kita dahulu kala, saat menghadapi tentara Belanda. Mari kita kenang aksi heroik mereka pada saat itu. Negara kita berperang untuk mengusir penjajah. Setidaknya mereka akan bangga mati karena berperang ketimbang dijajah.

Herman Sulistiyo





























Selasa, 26 Juni 2012

Pra dan Pasca Sempu di Surabaya


Thermometer menunjukkan angka yang tidak masuk akal disini”
Pra Sempu
House of Sampoerna sebuah museum sekaligus pabrik rokok kretek Dji Sam Soe, ya… tempat itu menjadi salah satu kunjungan saya dan teman-teman saya di kota Buaya dan Pahlawan, Surabaya. Di museum tersebut kami disuguhi dengan pajangan berbagai macam produk dari Sampoerna. Mulai dari rokok produksi lawas hingga terbaru terpajang rapih didalam lemari kaca. Bahan baku tembakau pilihan dari 3 kota di Indonesia, lukisan dengan gambar orang sedang merokok dan mesin penggiling tembakau  juga di pajang disana.
House of Sampoerna
Tembakau bahan baku kretek Dji Sam Soe
lukisan
lukisan
Aroma khas dari termbakau yang tercium di museum itu menuntun saya untuk naik ke lantai dua dari museum tersebut. Dan wow. . . dari atas sini saya dapat melihat para pekerja pabrik sedang asik melinting rokok kretek. Uniknya adalah para pekerja itu mengerjakan pekerjaannya dengan sangat cepat  dan terampil seperti robot yang telah di program. Jari jemari mereka seakan sudah hafal harus bergerak seperti apa, dan semua pekerjanya adalah perempuan. Saya sendiri pun sampai detik ini  masih tak percaya dengan apa yang saya lihat. Dari mulai melinting, merapihkan kretek hasil lintingan sampai dengan membungkus rokok kretek tersebut dalam kemasan, mereka lakukan proses pembuatan rokok kretek tersebut dengan sangat cepat, wow. . .
klik
mesin giling tembakau
Hari semakin siang dan kami pun segera keluar dari Meseum dan mencari makan siang. Ketika keluar ruangan kami langsung disengat dengan panasnya matahari. Sungguh perbedaan suhu yang sangat kontras terasa bagi kami, dimana yang sesaat sebelumnya berada diruangan yang sejuk kini terasa panas menyengat. “Hai dewa Rha angkuh sekali kau hari ini". Mungkin matahari disini sedang bersemangat untuk menjalani tugasnya menyinari dunia, atau mungkin kami yang tak terbiasa dengan panasnya kota Surabaya.

beberapa koleksi kretek Dji Sam Soe
klik
Kami mencoba mengukur suhu sekitar dengan menggunakan Thermometer Digital yang telah terinstall di telepon genggam salah satu dari kami. Dan wow. . . angka yang muncul dilayar sangat menakjubkan sehingga membuat kami merasa tak percaya dan bertanya-tanya. Saat itu suhu yang terekam pada thermometer digital mencapai 41 derajat calcius. “Ini thermometer nya panas, suhunya tinggi, perlu obat penurun panas nih buat thermometer-nya”, celetuk candaan salah satu dari kami, hahahahaha.

klik
klik
klik
Kami bergegas berjalan meninggalkan House of Sampoerna mencari warung makan. Lontong balap, yah. . . salah satu makanan khas kota Surabaya menjadi santapan kami siang itu. Mungkin bagi kalian yang baru pertama kali mendengar nama makanan tersebut akan merasa bingung dan bertanya-tanya seperti apa sih bentuk dan rasanya? Lontong di iris-iris diberi toge dan potongan tahu, lalu di siram kuah dengan bumbu yang khas (kurang lebih seperti itu). Seperti makan sayur asem dengan ikan teri, sambel terasi dan lalapan, lontong balap pun tak mau kalah, teman makan lontong balap adalah sate kerang dan sambel petis. Jujur saat itu saya baru pertama kali mencoba makanan tersebut dan sampai sekarang malah ingin makan Lontong Balap lagi karena kecanduan.

lontong balap
sate kerang
Selesai makan kami pun segera bergegas menuju terminal terdekat mencari angkot untuk pergi ke stasiun Gubeng. Tujuan kami berikutnya adalah Pulau Sempu yang berada di kota Malang. Selamat tinggal Surabaya, kami akan kembali setelah dari P. Sempu.
klik
klik
perjalanan ke st. Gubeng
sampai di st. Gubeng
Paska Sempu
Kira-kira pukul 02.00 waktu setempat dini hari, kami sampai di terminal Bus Surabaya selepas dari Pulau Sempu. Sesampainya di terminal Bus tersebut, kami dijemput oleh beberapa teman kami yang berdomisili di Surabaya. Kami langsung diajak untuk mampir sejenak ke rumah salah satu dari teman kami disana. Sekedar beristirahat sejenak dan santap malam di rumah teman kami tersebut. Memang kalo sudah rezeki gak akan kemana, sesampainya kami dirumah teman kami tersebut kami di sambut dengan banyak makanan yang menggugah selera. Rasa kebersamaan pun timbul saat menyantap makan malam bersama, suasana menjadi hangat dengan selingan canda ditengah santap malam tersebut. Selesai makan kami berpamitan untuk pergi ke rumah teman kami yang lain, masih di Surabaya juga tentunya, kami berencana bermalam di sana. Sesampainya kami di rumah teman kami, kami langsung istirahat disana.

sambutan yang wah. . .
Meskipun hari sudah gelap hawa panas masih kami rasakan, sehingga sulit untuk tidur dengan nyenyak karena gerah. Hanya sebuah kipas angin ukuran sedang yang jadi andalan kami untuk mengantarkan kami ke alam mimpi. Mungkin kipas angin tersebut butuh usaha yang sangat keras untuk me-nina bobo kan kami pada saat itu. Seiring berjalannya waktu dan saking lelahnya kami malam itu akhirnya kami pun tertidur pulas.

Tak terasa hari telah berganti, dari gelap hingga terang namun hawanya tetap saja panas. Bahkan lebih panas dari semalam yang kami rasakan. Sungguh benar-benar tak masuk akal suhu di kota ini. Hari ini hari terakhir kami di kota Surabaya, setidaknya hingga pukul 14.00 waktu setempat karena kami harus kembali pulang ke Ibu Kota. Memanfaatkan waktu sebelum pulang kami berencana mengunjungi beberapa tempat di kota ini. Monumen Jalesveva Jayamahe, Monumen Kapal Selam dan makam Sunan Ampel. Dari ketiga lokasi yang saya sebut tadi hanya 2 lokasi yang berhasil kami kunjungi yaitu Monumen Kapal Selam dan makam Sunan Ampel. Sedangkan Monumen Jalesveva Jayamahe tidak kami kunjungi dikarenakan monument tersebut berada di wilayah komplek TNI AL. Kami tidak bisa masuk kesana secara sembarangan sebelum mengurus proses perijinan terlebih dahulu. Untuk itu kami mengurungkan niat kami untuk berkunjung kesana karena waktu kami yang sangat terbatas.

kawasan sunan Ampel
kawasan sunan Ampel
kawasan sunan Ampel
kawasan sunan Ampel
kawasan sunan Ampel
Hari semakin siang dan panas semakin menyengat tubuh kami, dan waktu sudah semakin sedikit untuk kami berada di kota ini. Kami pun langsung bergegas menuju ke St. Gubeng untuk bersiap-siap pulang ke Ibukota.  Tak lama, Gaya Baru Malam, sebuah kereta ekonomi dengan tujuan Jakarta telah memasuki st. Gubeng. Dengan gagahnya dan tanpa keraguan sedikitpun memberi salam hangat pada para penumpang yang sudah menunggu di stasiun dengan santernya, “Nguoooooong. . . . 

Monumen Kapal Selam
klik
Monumen Kapal Selam
klik
sesaat sebelum pulang (St. Gubeng)
Prolog :
Ahh. . . kalian telah pulang, kalian telah pergi. Semoga tidak untuk selamanya, semoga kalian datang kembali. Kami, Sura dan Baya akan selalu menunggu kalian disini, di ujung timur pulau Jawa. 

Herman Sulistiyo